Sepotong Kue Bukan Untukmu
Masih
ingatkah kau dulu, ketika aku masih kanak. Ingatkah kau pada beberapa kuntum
soka yang kuberikan padamu? Aku masih mengingat senyum yang melengkung di
wajahmu.
Atau
masihkah kau ingat dengan kejutan yang kami berikan? Kala itu, kami
berkilometer jauhnya berjalan kaki dari rumah ke pasar swalayan langganan kita.
Kami berbohong ingin pergi bermain, padahal kami ingin membeli anting plastik
dan pin kecil dengan hanya mengandalkan uang-uang pemberian para Ompung dan
Tulang. Lalu kami pulang, membungkusnya, dan menaruh di bagasi mobil. Tak lupa
surat kecil tulisan tangan kami juga kami selipkan. Kalau sekarang ku pikir,
sungguh murahan apa yang kami berikan waktu itu. Herannya, kau malah terharu
dan menangis di depan kami. Lebih lagi, kau pakai hadiah murahan itu dengan
bangga di depan rekan-rekanmu.
Dan
ingatkah kau dengan hadiah terakhir yang kuberikan? Hadiah terakhir dan aku
rasa yang terbaik yang pernah kuberikan.
Saat
jarak membentang luas di antara kita. Aku masih ingat dengan tangis yang kau
isak di ujung sana, ketika aku mengucap harap agar Tuhan memberimu kekuatan
untuk menghadapi semua ini. Di ujung lain, aku menahan getar. Aku memang hanya
berharap kau kuat untuk menghadapi, karena aku terlalu lelah untuk berharap kau
berhasil melewati.
Sebenarnya
aku ingin memberikan kejutan besar untukmu, namun ku tunda untuk angkamu yang
lebih spesial. Aku tunda karena ku yakin kau akan melewatinya. Aku tunda dan
aku menyesal. Memang 49 sudah menjadi angkamu.
Sekarang,
adakah gunanya jika aku ucapkan selamat untukmu? Adakah artinya jika ku
panjatkan doa untuk sekedar memberikan sepotong kue untukmu?
Ku
relakan “selamat ulang tahun” yang tak lagi terucap. Tenanglah di sana.
“Dia tidak pernah suka soka, atau anting, atau pin. Dia
hanya suka pada permata dan berliannya. Karena, apa lagi yang ia miliki selain
putra dan putrinya tercinta?”
Komentar
Posting Komentar