Postingan

Melankoli Natal

Beberapa minggu lalu, di sebuah bangku gereja, di tengah pengumuman perayaan Natal Entah roh apa yang datang Aku tercengang sendiri Apa manusia ini tidak sadar? Bayi yang lahir ini, nanti mati dikorbankan untuk mereka. Kenapa malahan berpesta? Apa manusia ini tidak baca? Maria dan Yusuf justru menanggung aib! Selama Dia di kandungan, mereka malu! Walau demikian, mereka tetap taat Apa esensi tukar kado? Bahkan untuk melahirkan saja, Maria dan Yusuf menumpang di kandang binatang! Apa manusia ini tidak tahu? Mana ada dulu pohon cemara dengan segala bola-bola kristal dan salju? Dan siapa juga yang mengatakan bahwa Yesus lahir pada 25 Desember? Lebih dari 2000 tahun yang lalu, Yesus lahir dengan sederhana Sejak kapan Natal jadi begini?

Jangan Terlalu Sayang

Mama pernah berkata, "Kamu jangan terlalu sayang sama mama. Nanti kalau mama pergi, kamu sedih." Awalnya aku tidak memahami kalimat itu. Bagaimana mungkin aku tidak boleh menyayanginya? Memang kapan ia akan pergi? Memangnya mama akan pergi? Ya. 4,5 tahun setelah kepergiannya, barulah aku paham. Mama benar. Terlalu berat ternyata. Dan mama salah. Harusnya, mama tidak bicara seperti itu. Jika saja aku diberi kesempatan lagi, aku akan berkata, "Ma. Sayang sama mama adalah hak Bella. Kehilangan adalah konsekuensinya. Kalau suatu saat nanti mama pergi, bukan urusan mama untuk menyelesaikan kehilangan Bella. Karena yang terpenting adalah saat ini: mama tahu ada yang sayang sama mama." Mungkin saat itu ia cemas. Dan yang dibutuhkannya hanyalah ketenangan, bahwa ketika ia pergi, aku akan baik-baik saja.

Kesimpulan

Dua pasang kaki kecil berlarian Sepasang milik laki-laki bermata sipit Sepasang lagi milik perempuan bermata lebar Si laki-laki memegang pipi perempuan Si perempuan merajuk, malah memukul balik Si laki-laki yang dipukul, justru membelainya lagi Dan si perempuan kembali menjauh Si perempuan bermain dengan kursi kecil Menggoyang-goyangkannya ke depan dan belakang Si laki-laki mengikuti dengan kursi kecil lainnya Lalu dia duduk di kursi perempuan tadi Si laki-laki berdiri Dan tiba-tiba memeluk si perempuan Kali ini si perempuan tidak melawan Walau tidak dibalasnya juga pelukan itu Selesai memeluk, si laki-laki ini pamit Diajak pulang oleh mamanya Si laki-laki melambaikan tangannya Si perempuan akhirnya melambaikan tangan Saat si laki-laki melewatiku, aku bertanya, “Umur berapa?” “Dua tahun” jawab mamanya Ada hati yang luluh oleh kesabaran Ada tangan yang menyentuh lembut dengan ikhlas Ada peluk yang tulus tanpa hasrat duniawi

16 Agustus Tahun 45

“16 Agustus tahun 45… besoknya hari kemerdekaan kita..” Begitulah kurang lebih isi celotehan temanku di media sosial. Katanya lelucon itu sudah banyak tersebar di dunia maya. Lucu, jika lirik itu dikumandangkan tahun ini. Bagaimana jika lirik itu dikumandangkan pada tahun 1945? Apa yang kamu rasakan? Bisa jadi, ada pahlawan kita yang menyanyikannya di hari itu. Bisa jadi, ia bernyanyi dengan tawa getir. Bisa jadi, ia bernyanyi sambil bersimbah air mata atau darah. Bisa saja di tahun 1820, ada pejuang-pejuang kita punya keyakinan sama. Bahwa hal itu akan terjadi di tahun 1820 atau 1821, atau akhir tahun 1821 juga tidak apa-apa yang penting merdeka. Para almarhum dan almarhumah kita ini hebat. Terlalu hebat. Kalau aku harus “memakai sepatu mereka” Rasanya seperti mencari ujung di sebuah lorong gelap nan panjang. Ada ujungnya, tapi belum tahu keberadaannya. Pilihannya adalah diam saja dan mati di lorong, atau bergerak maju walau mung

Terima Kasih, Tuhan, karena Aku Orang Susah

Terima kasih, Tuhan, karena aku orang susah Kalau tidak, mungkin aku tidak akan mati-matian mencari uang Mungkin malah nanti aku mati betulan Jadi, terima kasih karena aku orang susah Terima kasih, Tuhan, karena aku merasa bodoh Kalau tidak, mungkin aku tidak pernah belajar Mungkin malah nanti aku jadi bodoh betulan Jadi, terima kasih karena aku bisa merasa bodoh Semoga tidak dibodoh-bodohi Terima kasih, Tuhan, karena aku pernah kepanasan Kalau tidak, mungkin aku tidak akan senang dengan udara dingin Terima kasih juga, Tuhan, karena aku pernah kedinginan Kalau tidak, mungkin aku tidak akan sadar kehadiran mentari tengah hari Jadi, terima kasih untuk panas dan dingin di sepanjang hari Terima kasih, Tuhan, karena aku pernah merasakan pahitnya obat Kalau tidak, aku tidak akan sadar betapa manisnya sebatang Silver Queen Aku tidak akan minum obat kalau tidak sakit Jadi, terima kasih karena aku pernah sakit Karena sakit juga, aku jadi punya waktu

4 Juni, 21.50

Aku masih sama seperti dulu Bicara semauku Mendengar yang mau ku dengar Aku tidak lagi seperti yang kau ajarkan Dulu kita keramas sambil menunduk Sekarang aku berdiri tegak Untuk membilas busa di rambut Ternyata hasilnya jauh lebih baik Aku mencontoh petugas salon langganan kita Sekarang aku berdiri tegak Untuk membilas ikhlas Semua yang masih membekas di benak Ternyata belum berhasil lepas Entah aku harus mencontoh dari siapa Aku sekarang bisa menonton mandiri Dan terkadang sendiri Dan terkadang masih bertiga Jelas bukan denganmu Mataku memandang yang tampan Sama seperti yang kau tertawakan dulu Dan kau tetap tahu Pilihan terakhir tetaplah untuk yang menawan Kau tahu Ada penyanyi berkata Berlari tanpa kaki Katanya tak mungkin Kau tahu Mereka tak tahu Sudah tahu tak punya kaki Kenapa harus berlari? Aku terbang Kau tahu Tidak, tidak ke sana Terlalu jauh Masih banyak yang harus kuselesaikan Kata Tuhan

Untuk Berlian yang Terabaikan

Dari satu bintang di langit, ku layangkan pandang ke bumi. Jauh di dalam tanah tempat ia bersembunyi. Ia yang selalu berpikir bahwa dirinya batu. Batu yang memang sebaiknya terus bersembunyi. Sejauh apa resah yang kau kecap? Sedalam apa jatuh yang kau rasa? Kemarilah. Ku lapangkan hati untuk setiap gelisahmu. Tak akan pekak telingaku untuk setiap resahmu. Agar kamu tahu, kamu tak terabaikan. Tak hanya oleh Pencipta semesta, tapi juga olehku. Agar kamu tahu, bahwa selayang pandang tak jatuh padamu sebagai kebetulan atau keharusan. Ini bukan hanya oleh karunia Pencipta semesta, tapi juga oleh tulusku padamu. Kamu tak hanya berharga di mata-Ku, namun juga berharga di mataku. Mungkin Pencipta semesta ini juga mau aku setia dalam proses. Aku ingin setia menduakan sendirimu. Aku ingin setia merindu lewat tiap terpaan angin di malam panjangmu. Aku ingin setia menemani laparmu hingga kau kenyang, lapar, kenyang, dan lapar kembali. Aku ingin setia hadir dalam tiap p