Untuk Berlian yang Terabaikan

Dari satu bintang di langit, ku layangkan pandang ke bumi. Jauh di dalam tanah tempat ia bersembunyi. Ia yang selalu berpikir bahwa dirinya batu. Batu yang memang sebaiknya terus bersembunyi.

Sejauh apa resah yang kau kecap? Sedalam apa jatuh yang kau rasa? Kemarilah. Ku lapangkan hati untuk setiap gelisahmu. Tak akan pekak telingaku untuk setiap resahmu.

Agar kamu tahu, kamu tak terabaikan. Tak hanya oleh Pencipta semesta, tapi juga olehku.
Agar kamu tahu, bahwa selayang pandang tak jatuh padamu sebagai kebetulan atau keharusan. Ini bukan hanya oleh karunia Pencipta semesta, tapi juga oleh tulusku padamu.

Kamu tak hanya berharga di mata-Ku, namun juga berharga di mataku.

Mungkin Pencipta semesta ini juga mau aku setia dalam proses.

Aku ingin setia menduakan sendirimu.
Aku ingin setia merindu lewat tiap terpaan angin di malam panjangmu.
Aku ingin setia menemani laparmu hingga kau kenyang, lapar, kenyang, dan lapar kembali.
Aku ingin setia hadir dalam tiap prosesmu dan menanti dunia terkagum akan kilaumu.
Aku ingin setia menyadarkan bahwa kamu bukan batu.
Karena sekarang beri tahu aku, batu mana yang sanggup meneteskan air mata?

Aku ingin untuk pertama kalinya percaya, meski harus memberikan seluruh sisa kuatku, atau bermuara pada kecewa.

Tak perlu kau tanyakan sudah sejauh mana afek ini berjalan. Wanita mana yang tak jatuh hati pada berlian?

Aku bahkan sudah jatuh hati sejak kamu menjadi batu.

Walau sekali lagi ku katakan, kamu bukan batu. Sekalipun kamu memang batu, aku akan tetap melayangkan pandangku padamu.

Namun demikian,
jika saat ini kamu sudah menjadi berlian
jika saat ini kamu sudah tak lagi (merasa) terabaikan
jika aku memang tak miliki kesempatan untuk mendampingi kala kamu bersinar
ya sudah.

Ya. Sudah.

Satu hal perlu kamu ingat: Tuhan menyayangimu. Begitu pula aku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyapa Kawan Lama

Terima Kasih, Tuhan, karena Aku Orang Susah

Segala Sesuatu Ada Waktunya