Matikah Dia? Matilah Dia

“Akan tetapi semua ini terjadi supaya genap yang ada tertulis dalam kitab nabi-nabi.”

Minggu lalu, saya menyampaikan cerita kepada anak-anak di gereja tentang kematian Yesus Kristus.

Cerita ini bukan cerita asing bagi mereka yang menyebut dirinya sebagai Kristen. Seumur hidup, orang Kristen akan mendengar cerita kehidupan Yesus dari Ia lahir hingga naik ke surga. Cerita tentang diri-Nya, menyatakan penggenapan janji Allah tentang keselamatan manusia dari dosa.

Kehidupan Yesus bukanlah tentang Yesus seorang diri. Tak akan ada cerita untuk dituturkan tanpa banyak tokoh terlibat dalam lebih dari 30 tahun kehidupan-Nya. Layaknya manusia biasa, manusia lainnya memiliki peran yang berbeda dalam kehidupan Yesus sehingga orang Kristen bisa memahami kisah-Nya seperti apa yang dipahami sekarang.

Pada cerita kematian Yesus, orang Kristen (harusnya sih) tahu beberapa tokoh yang terlibat di dalamnya; prajurit yang ditebas telinganya, pula Petrus yang menebas telinga prajurit tersebut dan juga yang menyangkal Yesus sebelum ayam berkokok tiga kali. Orang Kristen juga tentu tahu dengan masyarakat yang mengeluk-elukkan “Hosiana!” dengan daun palma dan beberapa hari kemudian meneriakkan “Salibkan Dia!” pada Orang yang sama. Jangan lupa, para imam kepala dan ahli Taurat yang juga berperan besar dalam penyaliban Yesus.

Dari semua tokoh yang terlibat, saya tertarik pada dua tokoh yang juga memiliki andil besar dalam kisah ini: Yudas Iskariot dan Pontius Pilatus.

Yudas adalah salah satu dari 12 murid Yesus. Ia mengkhianati Yesus. Yudas menjual-Nya dengan 30 keping perak kepada para imam kepala dan petinggi bait Allah. Pada salah satu kitab injil dituliskan bahwa ia melakukannya karena dirasuk oleh iblis. Setelah pembayaran dilakukan, ia mencari kesempatan baik untuk menyerahkan Yesus kepada mereka. Ia menunjukkan Yesus kepada para prajurit dengan memeluk dan mencium-Nya. Setelah itu, para prajurit membawa Yesus untuk kemudian diadili dan didapatilah bahwa Ia akan menjalani hukuman mati. Yudas menyesali perbuatannya. Setelah ia mengembalikan uang yang diterimanya (yang ternyata tidak diterima oleh para imam kepala dan petinggi bait Allah, dan malah dibelikan tanah yang sekarang disebut “Tanah Darah”), Yudas gantung diri.

Setelah melewati Kayafas dan Herodes (para petinggi daerah setempat), Yesus dibawa kepada ia yang disebut wali negeri. Nama yang sering juga disebutkan dalam Pengakuan Iman Rasuli. Ya, dia adalah Pontius Pilatus. Ketika Yesus dibawa kepadanya, Pilatus sebenarnya tidak menemukan kesalahan apapun dalam diri-Nya. Jadi, sebenarnya ia tidak ada alasan untuk menghukum Yesus. Istri Pilatus juga memperingatkannya agar tidak mencampuri hidup/mati Yesus. Saat itu, umat Yahudi sedang merayakan Paskah. Tradisi yang berjalan di tempat tersebut adalah masyarakat berhak meminta pemerintah untuk membebaskan salah satu tahanan sebagai bentuk penghargaan suatu hari raya. Kebencian para imam kepala sudah tak terbendung lagi sehingga mereka memberikan pengaruh kepada masyarakat agar meminta Pilatus membebaskan tahanan bernama Barabas dan menyalibkan Yesus sebagai gantinya. Pilatus agaknya masuk dalam sebuah dilema. Di akhir perdebatan batinnya, ia memutuskan untuk mencuci tangan di hadapan khalayak dan mengatakan bahwa keputusan penyaliban Yesus bukan menjadi urusannya. Yesus pun dibawa untuk kemudian disiksa, disalibkan, hingga akhirnya mati.

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir percuma juga Pilatus mencuci tangannya. Semua orang juga tahu bahwa Yesus mati di bawah pemerintahannya: “....yang menderita sengsara, di bawah pemerintahan Pontius Pilatus. Disalibkan, mati dan dikuburkan.” Ya sudah, bukan itu yang mau saya bahas.

Sepertinya sedari kecil sudah terpatri di pikiran umat Kristen bahwa Yudas dan Pilatus bukan orang baik. Mereka mengkhianati dan menyiksa seorang (ya saya memakai “orang” karena saat itu Ia masih manusia) yang disebut sebagai Tuhan. Itu bukan perbuatan yang baik, bukan?

Namun demikian, akankah semua ini terjadi tanpa mereka?

Seandainya Yudas tidak menjual Yesus. Seandainya Pontius Pilatus tidak cuci tangan.

Bukankah Yesus tidak akan menderita? Bukankah Yesus tidak akan mati?

Kalau Ia tidak mati, bagaimana Ia bangkit? Di mana penggenapan janji Allah?

Saya tertarik kepada kedua tokoh tersebut bukan karena saya anti Kristus atau semacamnya. Saya tidak sedang berusaha mencuci otak siapapun. Hanya saja, kadang Tuhan mengizinkan orang-orang jahat, brengsek, atau tidak berperikemanusiaan, datang dan mengacak hidup siapa saja (termasuk Yesus) agar rencana Tuhan boleh tergenapi.

Pada akhirnya, Yesus memang harus mati, untuk kemudian bangkit, mengalahkan maut, dan menebus dosa manusia yang percaya kepada-Nya.

Saya tidak berkata bahwa Ia datang untuk menebus dosa umat Kristen. Di alkitab pun juga tidak dikatakan demikian. Sebenarnya, Ia datang untuk menebus dosa SELURUH umat manusia YANG PERCAYA KEPADANYA.

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terima Kasih, Tuhan, karena Aku Orang Susah

Menyapa Kawan Lama

Segala Sesuatu Ada Waktunya