Bintang Terakhir
Malam itu, kami duduk di atap rumah.
Hanya berdua, ditemani sunyi malam. Langit sedang berbaik hati hingga kami
dapat melihat kerlipnya gemintang di atas sana.
“Sudah lama tidak memandang alam.”
katanya memecah hening.
Aku hanya terdiam. Aku berpikir
haruskah aku mengatakan sesuatu, atau itu hanya ekspresi kekagumannya saja yang
sebenarnya tak perlu ku timpali.
“Ternyata, langit itu megah,” katanya
lagi, “dan ribuan bintang itu membuat kemegahannya menjadi indah.”
Aku masih terdiam sambil terus
mengikutinya memandang langit.
“Bulan purnama. Beruntung sekali kita
malam ini. Luar biasa.” katanya lagi.
“Ada satu bintang yang selalu menarik
perhatianku.” aku akhirnya bersuara.
“Bagaimana bisa? Semua bintang ‘kan
sama saja.” dia menoleh ke arahku.
“Tidak. Tidak semua bintang sama.
Lihatlah.” kataku sambil menunjuk ke langit. Ia pun mengarahkan kembali
pandangannya pada langit. “Kedip mereka berbeda. Cahayanya pun memiliki putih
yang berbeda. Corak putihnya tak sama satu sama lain. Kamu bahkan tidak tahu
berasal dari jutaan tahun yang kapankah bintang itu berpendar. Letak mereka
juga tak ada yang sama. Mereka selalu bersinar dari tempatnya masing-masing.
Mereka berbeda.”
“Lalu, dari semua itu, yang mana yang
paling kamu suka?” tanyanya.
Aku tersenyum, lalu sesaat menoleh
padanya. Ia juga menoleh padaku. Kami beradu pandang.
Seandainya
saat ini ia menjadi aku yang sedang menatap matanya, mungkin ia akan mengerti.
“Kenapa?” tanyanya dengan wajah
menebak-nebak.
“Tidak apa-apa.” jawabku sambil tetap tersenyum
dan kembali menatap langit.
Ia pun kembali menatap langit dan
bertanya, “Jadi, bintang yang mana yang paling kamu suka?”
Setelah agak lama, akhirnya ku menjawab, “Bintang terakhir yang bersinar
untukku.”
Komentar
Posting Komentar