Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2014

Homo Homini Lupus

M A N U S I A Merasa jadi bagian yang paling besar dalam kehidupan. Tahu siapa Penciptanya, namun kadang melupakan-Nya. Dimulai dari masa paling rentan. Pembuahan. Perkembangan berbulan-bulan. Lahir. Lalu bisa menangis. Lalu bisa tertawa. Lalu bisa bicara. Lalu bisa makan. Lalu bisa berjalan. Lalu bisa baca. Lalu bisa tulis. Lalu bisa berpikir. Lalu bisa merasa. Lalu bisa berteman. Lalu bisa berkelahi. Lalu bisa berpacar. Lalu bisa sendiri. Lalu bisa terpuruk. Lalu bisa bangkit. Lalu bisa beruang. Lalu bisa menikah. Lalu bisa punya anak. Lalu bisa punya cucu. Lalu bisa tua. Lalu bisa sakit. Lalu bisa mati. Lalu tak bisa apa-apa. M A N U S I A Sedih saat hujan, sedih saat terik. Sedih atas ketiadaan manusia tertentu saat tidak pernah memaknai keberadaannya. Sedih saat manusia lain senang, senang saat manusia lain sedih. Senang sudah mendaki gunung tertinggi, menyelam lautan terdalam, mengarungi samudera terluas. Apa lagi? Senang dapat menekan kaum muda di bawa

Rembulan di Siang Hari

Belum terlelap, namun esok harus terbangun. Esok? Nanti. Terlalu banyak hal di kepala yang membuat jendela hati sulit terpejam. Senyum yang direncanakan hari ini, gagal. Si pelajar juga masih belum berhasil kembali ke kotanya. Heran. Bukankah ia telah memilih? Bukankah ia memilih dengan hati? Lalu mengapa berlara? Bukankah semestinya muncul gembira? Mungkin ia tidak memilih dengan hati. Mungkin ya, namun telah mati. Kadang ia berpikir terlalu liku. Hal kecil dibuat pilu. Di saat seperti ini, justru hal-hal (yang menurutnya) gagal di masa lampau ikut berkecamuk di kepala. Berapa, berapa yang gagal? Jemari tak dapat menghitungnya. Lucu, bahwa sebenarnya itu bukanlah kegagalan. Pelajaran. Bisakah dihentikan segala semu di hatinya itu? Bisa. Saat mentari terbit nanti, saat itu pula hasrat bersinar. Bagaimana jika terhalang awan? Itu masalah mentari. Karena nanti, manusia yang satu ini akan simpan a