Rembulan di Siang Hari
Belum terlelap, namun esok harus terbangun.
Esok? Nanti.
Terlalu banyak hal di kepala yang membuat jendela hati sulit
terpejam.
Senyum yang direncanakan hari ini, gagal.
Si pelajar juga masih belum berhasil kembali ke kotanya.
Heran. Bukankah ia telah memilih?
Bukankah ia memilih dengan hati?
Lalu mengapa berlara?
Bukankah semestinya muncul gembira?
Mungkin ia tidak memilih dengan hati.
Mungkin ya, namun telah mati.
Kadang ia berpikir terlalu liku.
Hal kecil dibuat pilu.
Di saat seperti ini, justru hal-hal (yang menurutnya) gagal di
masa lampau ikut berkecamuk di kepala.
Berapa, berapa yang gagal?
Jemari tak dapat menghitungnya.
Lucu, bahwa sebenarnya itu bukanlah kegagalan.
Pelajaran.
Bisakah dihentikan segala semu di hatinya itu?
Bisa.
Saat mentari terbit nanti, saat itu pula hasrat bersinar.
Bagaimana jika terhalang awan?
Itu masalah mentari.
Karena nanti, manusia yang satu ini akan simpan awannya untuk
berteduh.
Jika memang saatnya teduh.
Hanya saja, nanti waktunya ia bersinar.
Ia memang bukan Bintang Besar itu.
Tahu bulan? Ya, rembulan.
Ia tak punya cahaya, hanya memantulkan.
Bak rembulan, ia akan tetap indah di tengah hening dan hitamnya
malam.
Ya.
Ia ingin jadi rembulan.
Victoria Bella - 12/01/14 - 01:28
Komentar
Posting Komentar